Rabu, 14 April 2010

Silahkan baca dan nikmati disini

MP3 Wayang Orang, PARTA KRAMA (Harga Sebuah Komitmen)

Beberapa hari lalu, sebuah pesan pendek masuk ke ponsel saya. Isinya, salah seorang sahabat meminta saya untuk menjadi author di sebuah blog yang selama 2 tahun terakhir menjadi idola saya, Wayang Prabu. Permintaan ini saya penuhi kendati keadaan saya yang serba kecil ini terasa begitu menghantui.

Betapa tidak. Wayang Prabu adalah sebuah blog yang secara konsisten memperbaharui diri dengan materi-materi berbobot yang bertema wayang dan budaya jawa. Sehingga apapun yang saya posting nantinya akan menjadi acuan bagi ratusan orang yang berkunjung ke blog ini setiap harinya. Ini sungguh berat buat saya!

Begitu hebat dan konsistennya Wayang Prabu dalam konten dan posting sampai menggelitik seseorang untuk ikut menikmati dari keberadaan blog ini secara finansial. Puluhan kali pengunjung meminta untuk dikirimkan CD karena kesulitan dalam mendownload, selalu dijawab dengan arif namun tegas oleh empunya, bahwa semua konten yang ada diblog ini bukan karyanya, sehingga tidak pada tempatnya untuk memperbanyak dengan alasan apapun. Mas Prabu mempersilahkan untuk mendownload filenya tersebut secara cuma-cuma. Artinya, dia hanya memiliki file yang disimpan di online storage dan mensshare kepada setiap orang yang tertarik untuk menikmatinya.

Tetapi diluar dugaan, banyak rekan yang memberikan informasi bahwa di sini menujual DVD Ki Narto Sabdo yang dengan tegas menyebutkan sumbernya. Sejujurnya, ketika saya mencoba berkunjung ke link ini saya sempat kecewa karena atas nama semangat nguri-uri dan menyebar luaskan karya besar Ki Narto Sabdho, seorang rekan tega, dan sampai hati memasang harga. Tidak mahal memang. Cuma Rp. 130.000,- untuk sebuah karya seni yang tiada duanya di dunia. Akan tetapi jika dilihat dari bagaimana caranya memperoleh file itu, sungguh sangat menyakitkan.

Saya yang mempunyai pengalaman langsung mengconvert file dari magnetik ke digital dan mengupload ke online storage bisa merasakan hal itu. Dimulai ketika harus membeli kaset pita yang harganya Rp.20.000,- per buah yang apabila membeli satu lakon (8 buah) senilai Rp. 160.000,- kemudian merekamnya kedalam format digital –yang mau tidak mau harus memutarnya secara manual- membutuhkan waktu 8 jam untuk 8 kaset ditambah editing sana-sini sehingga menjadi file audio digital semacam MP3 sehingga secara keseluruhan mencapai 10 jam tiap lakon.

Setelah itu, mengupload file ke online storage yang dengan kualitas standard memerlukan waktu 30 menit untuk tiap-tiap file. Dengan kata lain, jika 1 lakon terdiri dari 16 file, maka diperlukan waktu tak kurang dari 480 menit atau 8 jam. Oleh karenanya total waktu upload yang diperlukan guna mengupload 66 lakon adalah 528 jam ( hampir 1 bulan). Belum terhitung biaya listrik, bandwidh, kopi jahe, udud (eh, maaf: mas Prabu tidak merokok) dan lain-lain.

Jika lakon yang di bawakan oleh Ki Narto Sabdo mencapai 66 judul. Itu artinya diperlukan waktu hampir 66 hari atau 2 bulan lebih, Jika dihitung menggunakan perhitungan 3500 per jam di warnet dibutuhkan Rp. 1.848.000 ditambah harga kaset Rp.20.000 X 63 lakon X 8 kaset = RP. 10.560.000,- !!!!!!!!! Angka yang terbilang kecil untuk Gayus, tapi sunguh fantastis untuk saya. Wuih…………

Tentu saja tidak semua file itu di garap langsung oleh mas Prabu. Banyak diantaranya adalah sumbangan berbagai fihak yang dengan sukarela menyerahkan untuk bersama-sama dinikmati, tanpa bayar, seperti milsalnya Mas Edy Listanto, Mas Imam, Mas Bambang Sutamto, Mas Suhandoko, Mbah Narko dan masih banyak lagi. Tetapi harus dicatat, ketika Pak Narto meninggal tahun 1984, teknologi audio belum seperti sekarang. Semua Karya Almarhum masih ginedhong ing pita swara, direkam dalam pita kaset. Artinya ilustrasi yang saya ceritakan diatas akan tetap berlaku sama dan bisa generalisasi. Cobalah iseng-iseng anda hitung, berapa lakon wayang di blog ini? . Berapa waktu yang di butuhkan? Berapa (maaf, saru dan tidak pantas) biaya yang harus dikeluarkan? Lalu tenaga dan sebagainya. Ah, wegah saya mikir. Mending download saja daripada mikir itung-itungan seperti itu!

Sekarang bandingkan dengan download file kemudian membakarnya dalam keping DVD lalu menjualnya dengan harga 130.000 per keping seperti ini. Jika untuk download 1 lakon (16 file) diperlukan waktu 20 menit per file maka waktu yang dibutuhkan = 320 menit (5 jam 30 menit) tiap lakon. Sehingga untuk 66 lakon diperlukan waktu 66 X 5,3 jam = 349,8 jam. Dengan asumsi Rp.3500 per jam di warnet, maka modal awal yang diperlukan cuma Rp.1.225.000,-. Selanjutnya tinggal membeli sekeping DVD senilai RP. 5000,-menggunakan ajian sakti pamungkas copy paste – dan burn!!!!!!!!!!!!! Tunggu prosesnya sampai selesai sambil mendengarkan wayangnya (barangkali akan dipakai untuk sinopsis J) atau browsing gambar wayang buat sampulnya. Beberapa menit kemudian, selesai. Terus dikirim via tiki atau paket pos Rp. 10.000,- Beres dan pasti turah alias sisa. Pasti, pasti dan pasti!

Tak pantas memang berbicara angka karena salah-salah dikira sirik atas rejeki yang mungkin diterima orang lain. Terlebih sejak awal empunya blog tak pernah menyinggungnya. Tetapi jika dikembalikan pada komitmen awal, untuk bahagia bisa berbagi, rasanya akan lebih bijak jika biarkanlah para pengunjung mendownload sendiri sesuai dengan kemampuan waktu dan bandwidhnya. Karena jika mau jujur, sekecil apapun uang yang mungkin bisa kita terima bukanlah hak kita. Sepenuhnya itu menjadi hak Ki Narto Sabdo dan semua ahli warisnya sebagai “royalty”

Ahh, sudahlah. Saya tidak pada kapasitas menilai apapun. Saya Cuma sekedar “ngudarasa”. Perlu juga dicatat, bahwa sepatah katapun Mas Prabu tidak mengomentari hal ini. Juga tak ada pesan sponsor apapun terkait dengan wibsite ini. Semua yang saya tulis sepenuhnya dari ngudarasa saya pribadi yang ikut merasakan betapa susahnya merubah pita magnetik ke digital kemudian menguploadnya. Cuma itu!!! Selebihnya terserah anda untuk meresposn atau tidak pada tawaran mp3 wayang kulit Ki Narto Sabdho seharga Rp. 130.000 per keping tersebut!

Kembali pada kesiapan saya untuk urun file ini blog ini sebagai author (topah-topah, gayaen), maka klungsu-klungsu saya ingin ikut udhu. Postingan kali ini adalah Wayang Orang, dengan cerita Parta Krama oleh Keluarga Wayang Orang RRI Surakarta yang direkam pada tahun 1982. Kualitas suaranya masih bagus, sayang sampul kasetnya sudah tidak bisa tertolong lagi. Dari aspek cerita, tentunya telah banyak diantara anda yang mengetahui. Ini adalah cerita mengenai perkawinan Arjuna dengan Bratajaya (Subadra). Akan tetapi secara historis, Parta Krama adalah momentum kelahiran Raja Astina pasca Baratayda. Dari perkawinan inilah nantinya akan melahirkan Abimanyu yang kemudian menurunkan Parikesit, Raja Besar Astinapura di jaman kekemasan yang konon berlangsung hingga ratusan tahun kemudian.

Dalam upaya melamar Dewi Bratajaya, Prabu Baladewa mensyaratkan banyak hal yang sungguh terasa sangat sulit diwujudkan, antara lain pertama, pengarak pengantin harus naik kereta kencana yang ditarik raksasa dengan kusir kera putih yang bisa beksa dan berbicara. Kedua, temu pangantih harus di balai kencana yang saka sadomas, yaitu gedung dengan 800 tiang penyangg dengan dekorasi yang kesemuanya dihiasi emas. Ketiga, srah-srahan pengantin harus dilengkapi dengan karbau ndanu 120 ekor yang pancal panggung. Keempat, pangantin harus didampingi para dewa dengan diiringi gamelan lokananta, dan kelima, pengantin pria harus mampu menerima pukulan dari pusaka sakti kyai Alugora.

Bagi Gatutkaca yang ketika itu menjadi duta Prabu Yudistira, merasa bahwa jawaban dan persyaratan yang diajukan oleh Prabu Baladewa adalah upaya untuk menolak lamaran Permadi secara halus. Hal ini tidak salah mengingat pada dasarnya kehadiran Prabu Baladewa di Dwarawati karena mendapat amanat dari Prabu Salya, mertuanya, untuk melamar Bratajaya guna dinikahkan dengan Raden Burisrawa.

Singkat cerita, setelah melewati berbagai tantangan dan hambatan, akhirnya Permadi berhasil menyunting Bratajaya.

Salah satu adegan menarik dan cukup monumental untuk diabadikan dalam lakon ini adalah pertemuan Gatutkaca dengan Dadung Awuk, raksasa yang dipercaya menggembala 140 ekor kerbau ndanu pancal panggung, milik Bethara Darma. Dadung awuk hanyalah pangon dan dia hanya berhak menikmati tanpa berhak memiliki atau bahkan menjual. Hebatnya, dia sadar akan posisi itu sehingga ketika Gatutkaca ingin meminjam (hanya meminjam) kerbau ndanu sebagai syarat pernikahan Permadi, Dadung Awuk rela berkubang darah mempertahankannya.

Kesimpulannnya, jika ada yang mendownload file dalam blog ini untuk kemudian dikomersilkan, maka dia tidak lebih baik dari Dadung Awuk. Inilah harga sebuah komitmen!

Selamat Menikmati.

  1. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _1a_1
  2. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _1a_2
  3. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _1a_3
  4. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _1b_1
  5. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _1b_2
  6. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _1b_3
  7. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _2a_1
  8. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _2a_2
  9. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _2a_3
  10. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _2b_1
  11. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _2b_2
  12. WO Sriwedari, PARTA KRAMA _2b_2

Kangsa Adu Jago

Masih bersama Ki Nartosabdho, kali ini dengan lakon “Kangsa Adu Jago”

Silahkan Lihat disini

Drupada Duta

Berikut adalah pagelaran wayang kulit oleh Ki Nartosabdho dengan mengambil lakon “Drupada Duta”

Silahkan lihat disini

Bimo Gugah

Kami sharing lakon Bimo Gugah oleh Ki Nartosabdho

Ceritanya nyusul setelah nanti dengerin :)

Silahkan Lihat Disini

Begawan Tunggul Wulung

Prabu Duryudana merasa gerah dan merasa terganggu karena di Desa Kembang Sore, menurut informasi yang diperoleh, telah berdiri sebuah padepokan yang didirikan oleh Begawan Tunggul Wulung. Menurutnya, Desa Kembang Sore yang berada di puncak Gunung Kendeng masih berada di bawah wilayah Astina dan Begawan Tunggul Wulung belum meminta ijin kepadanya untuk membuat pesanggrahan disitu.

Oleh karenanya, karena dianggap telah melanggar wilayah Astina maka Duryudana memerintahkan Begawan Durna diiringi dengan para Kurawa untuk memerangi dan mengalahkan kalau perlu membunuh Sang Begawan.

Siapakah Begawan Tunggul Wulung sebenarnya, yang Anoman, Setyaki, Anantareja dan Gatotkaca-pun tengah menghadap Sang Begawan, dan bagaimana kelanjutan ceritanya.

Lihat Disini

New Collection KNS

Berbagi pada dasarnya adalah fitrah insani. Siapa sih yang tidak ingin menyaksikan teman, keluarga, tetangga atau orang lain, tersenyum dalam kebahagiaan ? Siapa sih yang tidak akan merasa bahagia kalau orang lain mengalami hal serupa ? Siapa sih yang tidak akan riang hati manakala “turut menjadi penyebab” atas terang hati orang lain ? Siapa sih yang tidak ingin berbagi, saat dirinya memiliki sesuatu yang bisa dibagi sementara orang lain mengharapkannya ? Hanya orang-orang yang mengalami kepekatan hati yang enggan tuk menyaksikan kebahagiaan orang lain. Hanya orang yang hatinya diselipi iri dengki, manakala merasa menderita saat meyaksikan bahagia orang lain.

Berbagi untuk menggapai itu semua (dilakukan dengan maksud ikhlas dan berharap kebaikan bagi diri dan orang lain serta tentu saja berharap berkah dari Sang Pemberi Kebahagiaan) biasanya dilakukan menggunakan dua cara.

Cara pertama adalah diam-diam, tanpa perlu woro-woro. Biar orang lain menikmati dan tidak perlu tahu siapa yang telah berbagi.

Cara kedua adalah memproklamirkan diri namun dengan tujuan sebagai triger, pemicu, agar orang lainpun mengikuti kebaikan itu.

Cara pertama saya temukan banyak di blog ini. Cukup banyak penggemar wayang yang telah berbagi dan memberikan begitu banyak hasil jerih payahnya tanpa mau disebut nama. Salah satunya bahkan mengingatkan saya dengan sangat untuk tidak menampilkan sama sekali identitasnya.

Yang saya tahu bahwa untuk membuat bahan yang akan disharing itu (semisal audio pagelaran wayang, atau ebook), sangat dibutuhkan effort yang cukup besar, alokasi waktu dan mungkin dana yang tidak sedikit. Dan yang menikmati hasil berbagi tinggal bersenang hati. Dan itu cukup bagi yang berbagi, merasa berbahagia diatas bahagia orang lain.

Cara kedua, sedang dilakukan dalam blog WP ini. Sudah cukup banyak lakon oleh Ki Nartosabdho (KNS) hasil berbagi, namun ketika ingin lebih melengkapinya terkendala pada masalah dana. Sehingga diajaklah yang lain untuk berpartisipasi.

Saya yakin, niat Mas Imam, Mas Edy, Pak Wid dan penyumbang yang lainnya untuk proyek ini, adalah bukan semata-mata agar dikenal sebagai seorang dermawan atau bermaksud riya’ atas semua kebaikan dan kerja kerasnya. Dibalik semua itu saya yakin bahwa niat mereka semua adalah untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan.

0 komentar:

Posting Komentar